Itik sudah beredar dalam sejarah perdagangan dan pertanian di Indonesia sejak zaman kerajaan. Masuknya itik impor ke tanah air terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Salah satu bukti itik berkembang pada zaman kerajaan adalah sebagaimana tertulis dalam prasasti Sangsang pada 907 Masehi. Prasasti yang ditemukan di Jawa Timur itu menyebutkan tentang beberapa jumlah batasan komoditi pertanian bebas pajak yang diperdagangkan pada masa itu. Tertulis : "...yang pangulang kbo ya ruang puluh kboannya sapi patangpuluh wdus wuangpuluh andah sawantayan...", yang artinya "..jika menjual kerbau, 20 kerbaunya, sapi 40, kambing 80 dan itik satu wantayan...", Wantayan merujuk pada satuan kandang atau sangkar.
Budaya menggembalakan itik juga tercatat pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu 1049-1077 yang berkuasa di Kerajaan Bali. Prasasti Pucangan -salah satu prasasti yang dibuat Anak Wungsu- juga menyebutkan soal itik. Dalam bagian prasasti PUcangan yang ada di Kabupaten Bangil, tertulis raja mengabulkan permohonan penduduk dengan diperbolehkan memelihara anjing dan itik serta melakukan perniagaan ke desa lain. Saat itu beternak sudah menjadi kebiasaaan masyarakat Bali.
Itik juga disinggung dalam pesan Raja Shri Kertanegara yang tercantum pada prasasti Prameshvara Pura yang ditemukan di Desa Sapikerep Kabupaten Probolinggo Jawa Timur pada Tahun 2002. Selain menyebutkan soal pembebasan pajak, prasasti yang dibuat pada 1275 itu mengingatkan masyarakat Tengger Bromo untuk melakukan pujian dengan cara memberikan sesajen. Sesajen yang diberikan berupa ayam, itik, telur dan uang.
Usaha pemeliharaan itik kemudian terus berkembang hingga masuk ke zaman Hindia Belanda, saat itu itik Khaki Campbell dan Peking masuk. Namun hingga kini, walaupun beberapa jenis itik impor masuk ke Indonesia, itik lokal juga senantiasa terus berkembang dan etap menjadi komoditas utama yang dibudidayakan oleh sebagian besar peternak di tanah air.
Itik yang dipelihara mayoritas adalah itik petelur. Kini, untuk memenuhi kebutuhan itik pedaging, itik betina yang sudah tidak produktif (afkir) dan itik jantan muda banyak diperdagangkan sebagai itik pedaging. Itik pedaging marak diperdagangkan sebagai alternatif menu daging ayam dan atau sapi. Sebelumnya itik pedaging identik dengan itik peking, target pasarnya adalah konsumen menengah ke atas. Dengan diversivikasi sumber itik pedaging dari betina afkir dan jantan muda, maka pangsa pasarnya semakin meluas hingga restoran kaki lima.
(Sumber : Dari berbagai sumber)