Itik Pedaging Panen 40 Hari

Membengkaknya permintaan itik pedaging membuat kehadiran itik pedaging unggul yang cepat panen sangat diperlukan. Apalagi saat ini itik pedaging yang dipakai merupakan itik petelur. Bila itik petelur terus dipakai akan terjadi pengurasan sumber daya genetik itik petelur. Oleh karenanya banyak peternak melakukan penyilangan untuk mendapatkan itik pedaging cepat panen.

Di Jatijajar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, H Engko Koswara juga memelihara itik pedaging yang dipanen 40 hari. Itik itu merupakan keturunan ke-3 (F3) dari persilangan antara jantan itik peking dan betina itik pajajaran. Menurut Engko F3 yang dihasilkan sudah 80% mirip itik lokal. Leher panjang, dan warna bulu dominan campuran cokelat dan putih atau kehitaman dan putih. “Darah pekingnya terlihat dari ukuran tubuh dan pantat itik yang besar,” ungkap Engko yang mulai menyilangkan itik sejak 2005.

Bebek silangan tanpa nama itu istimewa karena bobot 1,5 kg diperoleh dalam waktu 40 hari. Bahkan keturunan pertama (F1) bisa mencapai bobot 1,6 - 1,7 kg dalam waktu 30 hari. Engko memang tidak mempertahankan kehadiran F1 sebab ketua kelompok ternak bebek Family itu berharap itik barunya tetap bersosok itik lokal. “Pada F1 sekitar 60% masih mirip itik peking, lehernya pendek dan bulunya putih,” katanya.

Masih di wilayah Jawa Barat, Abdul Wahid di Kabupaten Cirebon pun beternak silangan F3 antara jantan itik peking dan betina rambon. Seperti Engko, Wahid yang pertama kali menyilangkan itik pada 2008 itu menginginkan itik silangannya seperti itik lokal. “Meski F3 sudah mirip, berbulu cokelat, tapi belum stabil untuk dijadikan induk. Sampai sekarang masih terus disilangkan,” kata Wahid yang memberi nama bebek cirebon alias BC pada itik baru itu.

Bebek cirebon memiliki keunggulan lantaran bisa mencapai bobot 2 kg selama 60 hari pemeliharaan. Bila berpatokan pada ukuran pasar - 1,4 - 1,5 kg per ekor - itik bisa dipanen sekitar 45 hari masa budidaya.

Sayangnya itik baru itu rakus pakan, tidak seperti itik baru silangan Yanto dan Engko yang porsi pakannya seperti memelihara itik biasa. “Pakan itik BC bisa 3 kali lipat,” ujar Wahid yang memberi campuran pakan terdiri dari menir, dedak, dan konsentrat dengan perbandingan 4:4:1 itu. Sebagai ilustrasi untuk 100 itik rambon jumlah pakan yang dibutuhkan 16 kg/hari, sementara itik BC dengan populasi sama perlu sekitar 45 kg/hari.

Pasar butuh
Peternak seperti Yanto, Engko, dan Wahid pada mulanya memang tidak berniat menghasilkan itik baru yang pertumbuhannya lebih cepat. Mereka memanfaatkan induk itik peking yang awalnya dipelihara sebagai pedaging. “Setelah dipelihara ternyata pasar itik peking belum terbuka sehingga sulit memasarkannya,” kata Wahid yang merugi hingga puluhan juta rupiah itu. Itik peking yang masih tersisa kemudian dipelihara dengan cara disatukandangkan bersama itik rambon yang berujung munculnya itik baru.

Faktor ‘ketidaksengajaan’ itu kini secara tidak langsung menjadi solusi dari sulitnya memperoleh pasokan itik pedaging untuk memenuhi permintaan rumah makan, restoran, dan warung-warung tenda penyedia menu bebek yang terus meningkat. Sebagai gambaran seretnya pasokan tercermin dari kebutuhan sebuah rumah makan penyedia itik di Jakarta Selatan. “Kebutuhan sehari 75 ekor, tapi dalam seminggu hanya 2 - 3 hari yang bisa penuh terisi,” ujar Sugeng Widodo, pemilik yang bermitra dengan 3 pengepul itu.

Kondisi serupa juga tampak di restoran Bebek Garang di Bandung, Jawa Barat, misalnya. Dari kebutuhan 100 itik per hari, tidak sepenuhnya terpasok. Padahal, pada akhir pekan kebutuhan itik melambung hingga 120 - 150 ekor. “Barang mulai sulit dicari, apalagi untuk ukuran karkas 8 - 9 ons,” kata Berry Syah Maulana, manajer pemasaran. Itu pula yang juga dialami Ali, pemilik warung bebek di bilangan Boromeus Bandung yang menyerap hingga 150 ekor per hari.

Bergeser ke hulu, peternak pembesar saat ini memang kesulitan menggenjot produksi karena pasokan day old duck (DOD) itik pedaging masih terbatas. Penetas DOD seperti Suherman, misalnya, meski sudah menggenjot produksi hingga 45.000 DOD, tetap kelimpungan. “Permintaan sampai 100.000 DOD per bulan,” kata penetas di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu.

Imbasnya seperti dialami Dody Faizal, peternak di Mojokerto, Jawa Timur. Permintaan yang datang berulang-ulang kerap ditolak. “Saat ini yang bisa dipasok sekitar 500 ekor/minggu,” kata Dody yang memelihara 4.000 itik mojosari itu. Hal sama diungkapkan oleh Ade, Uyu, dan Arifin - ketiganya pengepul itik di Bandung, Jawa Barat. “Untuk mendapat 500 ekor per hari saat ini sulit bukan main,” kata Ade yang mensyaratkan karkas berbobot 6 - 8 ons itu. Padahal, permintaan pelanggan yang mesti dilayani mencapai 1.000 ekor/hari.

Silangan
Sejak 2 tahun lalu kondisi pasar itu sudah diprediksi Acas Sarminto. “Tanpa inovasi dalam pengembangan itik sulit memenuhi kebutuhan pasar,” kata peternak di Surabaya, Jawa Timur, itu. Acas yang mengembangkan itik peking pun mulai berkonsentrasi menyilangkan itik peking dan itik mojosari. “Hasil silangan ini sudah ada sekitar 1.000-an ekor,” kata pemilik Gerai Bebek Peking yang menargetkan panen itik berbobot 1,8 kg dalam waktu 50-an hari itu.

Pun Sofwan di Jombang, Jawa Timur. Sofwan saat ini membesarkan itik raja silangan jantan itik mojosari dan betina alabio yang diperoleh dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi, Kabupaten Bogor. “Itik raja bisa dipanen setelah berumur 40 - 42 hari dengan bobot 1,2 - 1,3 kg/ekor,” kata koordinator PPL di Kecamatan Wonosalam yang kini memelihara 600 itik raja.

Balitnak pun tidak ketinggalan untuk memasok itik unggul pedaging. Menurut Dr Hardi Prasetyo MAgr Sc, Balitnak telah meluncurkan itik pedaging PMp yang merupakan hasil persilangan antara itik jantan peking dan betina itik mojosari putih. Kehadiran itik yang pada umur 10 pekan dapat mencapai bobot 2 - 2,5 kg/ekor dengan kulit bersih dan cerah itu diharapkan mampu mengurangi pemakaian itik petelur yang saat ini sumber itik pedaging. “Dengan begitu tidak terjadi pengurasan sumberdaya genetik itik petelur,” ujar peneliti madya bidang Penelitian, Pemuliaan, dan Genetika Ternak di Balitnak itu.

Meski itik-itik silangan baru itu sudah diternak, tetapi sejauh ini ketersediaan DOD masih menjadi kendala. Faktor itu muncul lantaran belum stabilnya genetik itik-itik baru itu. Maka dari itu wajar bila harga DOD itik baru bisa mencapai 2 - 3 kali lipat harga DOD itik biasa yang berkisar Rp3.000 - Rp4.000 per ekor itu. Toh sebagai salah satu solusi sumber pasokan kehadiran itik-itik baru itu pantas dilirik. (Dian Adijaya S/Peliput: Faiz Yajri, Tri Susanti, dan Rosy Nur Apriyanti)
Sumber : www.trubus-online.com