Potensi Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit sebagai Pakan Unggas

Saat harga bahan pakan konvensional seperti jagung dan kedelai meningkat, penggunaan bahan pakan alternatif patut dipertimbangkan. Apapun bahan pakan yang akan digunakan, paling tidak harus mempertimbangkan beberapa aspek antara lain ekonomis, ketersediaan, kontinyuitas dan nutrisi. Dari aspek ekonomis, bahan pakan pengganti maksimal 70% dari harga bahan pakan yang digantikan. Misalnya, kalau  mau mengganti jagung yang berharga Rp 3.000, maka harga bahan pakan pengganti jagung harus di bawah harga Rp 2.100. Dengan demikian ada ruang untuk memberikan tambahan perlakuan dalam upaya meningkatkan mutu bahan pakan tersebut atau mutu ransum secara keseluruhan.
Untuk pemanfaatan bungkil inti sawit dalam ransum unggas, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan, sbb:
  • Kualitas bungkil inti sawit bervariasi tergantung pada kandungan minyak bungkil inti sawit dan kontaminasi tempurung kelapa sawit. Kandungan minyak dalam bungkil inti sawit tergantung dari proses ektraksi minyaknya. Dalam hal ini penggunaan mesin ekspeller cenderung menghasilkan produk yang tinggi kandungan minyaknya. Variasi kandungan minyak akan menyebabkan variasi nilai ME nya berkisar 1525-2260 kkal/kg. Semakin tinggi minyaknya (6-1%) akan menghasilkan kandungan ME yang tinggi. Kontaminasi tempurung kelapa sawit akan menekan nilai gizi bahan pakan ini. Kandungan tempurung kelapa sawit ideal di bawah 10%.
  • Asam amino bungkil inti sawit sangat tidak seimbang. Kandungan lysine dan methionine sangat rendah sedangkan argininenya sangat tinggi. Karena itu harus ada penambahan lysine dan methione untuk menyeimbangkan dan memenuhi kebutuhan asam amino tersebut.
  • Nilai kecernaan bungkil inti sawit cukup rendah baik kecernaan bahan kering, maupun protein dan asam amino. Karena itu ketika menggunakan bungkil inti sawit dalam jumlah tinggi, misalnya 20%, maka penyusunan ransum harus berbasis nutrisi tercerna terutama asam aminonya.
  • Pertumbuhan cenderung rendah di bulan pertama akibat mengkonsumsi bungkil inti sawit dan kompensasi pertumbuhannya setelah umur di atas 4 minggu. Karena itu penggunaan bungkil inti sawit, baiknya digunakan untuk ayam pedaging yang dipelihara diatas empat minggu agar didapatkan pertumbuhan yang optimal. 
Demi memperoleh hasil optimal, perlu ada peningkatan kecernaan bungkil kelapa sawit. Peningkatan kecernaan ini akan memaksimalkan pemanfaatan nutrisi dalam bungkil inti sawit. Untuk itu dibutuhkan enzim yang dapat memaksimalkan kualitas bungkil inti sawit dan pakan secara keseluruhan. Dalam bungkil inti sawit, sekitar 60% fraksi nutrisinya berupa cellulose (10-14%), lemak (1-10%), protein (13-22%), arabinoksilan dan glukoronoxilan (3-6%), mineral (6-8%). Untuk menghancurkan fraksi tersebut, dibutuhkan berbagai enzim yang berhubungan dengan fraksi itu. Misalnya: enzim cellulase untuk cellulose, xylanase untuk arabinoxylan dan glucoronoxylan, protease untuk protein dan phytase untuk beberapa mineral. Untuk pakan secara keseluruhan, mayoritas komposisinya (? 70%) ada dalam bentuk pati, protein dan cellulose. Karena itu, lagi-lagi, enzim protease untuk protein, amylase untuk pati dan cellulase untuk cellulose dibutuhkan untuk membantu proses pencernaan dan meningkatkan kualitas pakan. 

Menjawab kebutuhan terseebut, PT Alltech Biotechnology Indonesia memiliki produk enzim dengan merek dagang Allzyme?SSF yang diproduksi oleh Alltech Inc., USA. Allzyme?SSF mengandung seluruh enzim yang disebutkan di atas sehingga cocok untuk ransum yang berbasis bungkil inti sawit. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan, penambahan Allzyme?SSF sebanyak 200 g/ton pakan broiler bisa meningkatkan kecernaan, performa, income over feed cost (pendapatan/keuntungan), keseragaman tumbuh dan bisa menurunkan kandungan air feses. Jadi, penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum unggas cukup prospektif. Meski tidak mengandung antinutrisi, namun cukup palatable (bisa diterima, lezat). Dengan mempertimbangkan aspek-aspek di atas, penggunaan bungkil inti sawit akan mendapatkan hasil optimal.