Ternak itik yang selama ini lebih dikenal tahan terhadap penyakit jika dibandingkan ayam, tiba-tiba mengejutkan sejumlah peternak di Desa Tegalan, Kecamatan Kandat. Salah satu peternak, Agung Widodo, mengatakan, kematian itiknya kali ini tergolong spontan. Ini terjadi di sentra itik di Desa Tegalan dan setiap harinya mati dalam jumlah besar. "Di tempat saya, hampir setiap hari mati sepuluh ekor," kata Agung, Selasa (11/12).
Sebelum mati, sejumlah itik menunjukkan gejala sakit yang diawali dengan mata terlihat memutih, mengeluarkan liur, kotoran berwarna hijau, leher tengler dan lumpuh atau susah berjalan. Bahkan itik tersebut juga tidak bersuara seperti biasanya. Itik yang sakit ini akan meregang nyawa dalam hitungan 2 x 24 jam. Parahnya, penyakit ini menular sangat cepat ke itik lainnya dalam kandang yang sama.
Sementara penularan penyakit dari kandang satu ke kandang peternak lain, sepertinya berurutan. “Setelah dari kandang saya, kemudian penyakit bermigrasi ke kandang tetangga sebelah. Jadi, peternak ini seperti mendapat giliran,” ujar dia.
Peternak lain di Desa Tegalan, Tawaji, menambahkan, penyakit yang diderita itiknya sama dengan milik peternak lain. Upaya menyelamatkan itik dari kematian sudah dilakukan dengan cara member obat namun tidak membuahkan berhasil. Pembersihan kandang juga telah dilakaukan. Pemberian anti septik dan vitamin juga diberikan namun itiknya tetap saja mati. "Sepertinya, kalau itik sudah terjangkiti penyakit, sulit untuk diobati," jelas dia.
Serangan penyakit yang begitu mendadak ini mengancam kerugian besar para peternak, karena produksi telurnya turun tajam dan dagingnya juga lebih murah. Karena itik yang terserang penyakit, badannya sangat kurus. Dijual secara hidup ke ke pedagang makanan di Kediri dan Solo, juga tidak banyak yang berminat. “Kalaupun ada yang mau, harga itik per ekor menjadi Rp 29.000. Padahal, kalau itik sehat dan gemuk, harganya mencapai Rp 35.000 per ekor,” katanya.
Produksi telurnya juga turun drastis. Biasanya, dari sebanyak 1.600 ekor, setiap harinya produksi telurnya mencapai 900 butir. Begitu ada serangan penyakit, produksi telurnya anjlok tinggal 300 butir saja per hari. Ancaman kerugian peternak ini juga bertambah, karena harus membeli obat-obatan sebesar Rp 300 ribu untuk desinfektan. Sementara itik-itik yang mati oleh peternak dikuburkan begitu saja, tidak dibakar seperti perlakuan terhadap unggas yang mati akibat serangan flu burung.
Kejadian yang sama juga menimpa peternak itik secara kletekan (tidak digembala tapi dirawat di kebun) di Desa Plosorejo, Kecamatan Gampengrejo. Menurut Satryo, salah satu peternak, sebulan lalu itik tiba-tiba terdiam dan sebagian mati. Saat akan diberi makan, itik tidak bersuara (ribut) seperti biasanya dan tidak beranjak dari tidurnya. Dari dua belas yang sembuh, tiga di antaranya leher tengler dan kesulitan saat makan. “Produksi telurnya setiap hari hanya satu butir hingga kini,” katanya, Rabu (12/12).
Terkait serangan unggas yang dinilai mendadak ini, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Dan Perikanan Kabupaten Kediri, Aprita Wiwin, mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan dan kini sedang berkoordinasi dengan Balai Veteriner Jogjakarta untuk menanggulang penyakit itik itu. Beberapa waktu lalu pihaknya sudah mengambil sampel namun belum diketahui hasilnya karena hasil lab-nya belum keluar.
Meski secara medis jenis penyakitnya belum diketahui, tambah dia, pola penanganan awal terhadap serangan penyakit itu juga menggunakan standar penanganan terhadap suspect flu burung. Di Kabupaten Kediri, selama dua tahun ini tidak pernah ada sejarah flu burung. “Namun untuk penanganan awal terhadap itik yang dikatakan tiba-tiba mati, kami tetap menggunakan standar yang ada," ujarnya.
Kematian itik belakangan ini juga menjadi perhatian Kementerian Pertanian (Kemtan) dan telah diteliti. Lewat hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, 3 Desember 2012 disebutkan bahwa virus H5NI saat ini sudah bermutasi menjadi clade 2.1 dan menyerang itik. Laporan sejumlah terkait matinya itu dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), dan Jawa Barat.
Menurut catatan Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli), sentra itik di Jawa Timur yang sudah terjangkiti virus adalah Blitar, Kediri, Tulungagung, Mojokerto. Bahkan di Jawa Timur, 60 persen itik lokal mati akibat karena flu burung ini. Dalam tempo tiga haria, virus ini mematikan lebih 350.000 itik. Data di Himpuli juga menunjukkan, total populasi itik nasional pada 2011 mencapai 53 juta ekor dan produksinya tersebar di 23 provinsi. Populasi terbesar Jawa Barat, sebanyak 9 juta ekor, Jawa Tengah 5,5 juta ekor, Jawa Timur 4,3 juta, dan DIJ 600.000 itik.
Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) menduga adanya virus flu burung atau avian influenza (H5N1) dari luar negeri yang masuk dan menyerah sejumlah itik yang ada di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ade Zulkarnaen, Ketua Umum Himpuli. Ia menyatakan, virus flu burung yang mewabah dan menyerang ratusan ribu itik di Indonesia itu berasal dari virus yang dibawa itik impor. Untuk itu, Ia meminta untuk menghentikan sementara impor Itik.
Saat ini, Ade khawatir, wabah flu burung terhadap itik itu menular ke daerah lainnya. Saat ini, wilayah yang dinyatakan terkena wabah flu burung terhadap itu adalah Jawa Barat. "Jika tidak ditangani, wabah flu burung bisa menyebar ke Jakarta," kata Ade.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dikeluarkan pada 6 Desember lalu. Dalam surat edaran itu menyatakan, telah ditemukan highly pathogenic avian influenza (HPAI) subtipe H5N1 dengan clade 2.3 sub clade 2.3.2. Clade 2.3 ini, merupakan yang pertama kali ditemukan di Indonesia. Kementan menyebutkan, ada kemungkinan hal itu terjadi karena ada mutasi genetic shiftdari virus sebelumnya, termasuk dari itik impor ilegal atau migrasi burung liar.
Dari berbagai sumber/wd